Beras Raib di Desa Meteng Sampang, Hak Warga Disunat Setengah
0 menit baca
Beras Raib di Desa Meteng Sampang, Hak Warga Disunat Setengah
SAMPANG||Garuda08.com - Bantuan pangan yang sejatinya menjadi penyangga hidup warga miskin justru menyisakan tanda tanya besar di Desa Meteng, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Di balik karung beras dan botol minyak goreng yang dibagikan, tersimpan dugaan praktik pemotongan bantuan sosial yang merugikan warga penerima.
Investigasi Tim Media pada Jumat, 26 Desember 2025, menemukan pola pengurangan bantuan yang dialami banyak Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Setiap KPM seharusnya menerima 20 kilogram beras dan 4 liter minyak goreng. Namun warga hanya menerima 10 kilogram beras dan 2 liter minyak goreng. Tidak ada penjelasan tertulis. Tidak ada klarifikasi terbuka. Yang ada hanya pembagian sepihak di balai desa.
“Ambil di balai desa, ya segitu yang dikasih,” ujar seorang warga singkat. Pernyataan itu menggambarkan bagaimana bansos diperlakukan bukan sebagai hak, melainkan belas kasihan yang tak boleh dipertanyakan.
Kesaksian serupa datang dari seorang lansia berinisial M. Ia mengaku hanya menerima satu sak beras dan dua liter minyak goreng. “Kami orang kecil, tidak berani tanya,” ucapnya lirih. Kalimat tersebut mencerminkan ketimpangan relasi kuasa yang membuat warga memilih diam meski haknya terpangkas.
Keseragaman pengalaman warga memperkuat dugaan bahwa praktik ini bukan kesalahan teknis atau kekeliruan distribusi. Ada indikasi kuat pengurangan dilakukan secara sistematis. Pertanyaan paling mendasar pun muncul: ke mana sisa beras dan minyak itu mengalir?
Minimnya pengawasan dari lembaga terkait, mulai dari BULOG sebagai penyuplai, Dinas Ketahanan Pangan, hingga aparatur desa, diduga membuka ruang gelap dalam distribusi bansos. Celah ini menjadi ladang subur bagi oknum untuk bermain di atas penderitaan warga.
Pengamat bantuan sosial M. Hoiri menilai dugaan pemotongan volume bantuan pangan tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, jika benar terjadi pengurangan kuantitas bansos yang disengaja, maka perbuatan tersebut masuk kategori pelanggaran serius.
“Bantuan sosial itu hak warga dan dilindungi negara. Jika ada oknum yang dengan sengaja memotong volume, itu bukan sekadar pelanggaran etika, tapi berpotensi pidana,” tegas M. Hoiri.
Ia menekankan bahwa kasus seperti di Desa Meteng wajib dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) agar tidak berhenti sebagai isu lokal yang menguap tanpa pertanggungjawaban. “Kalau dibiarkan, praktik seperti ini akan terus berulang dan menjadikan bansos sebagai objek bancakan,” ujarnya.
Menurut M. Hoiri, penegakan hukum dan audit distribusi harus dilakukan secara terbuka. Negara, kata dia, tidak boleh kalah oleh oknum yang memperdagangkan hak orang miskin. “Yang dipotong bukan hanya beras dan minyak, tapi rasa keadilan,” katanya.
Kasus Desa Meteng menjadi potret buram distribusi bansos di tingkat akar rumput. Ketika bantuan negara tak pernah sampai utuh, dan warga dipaksa pasrah, maka yang dipertaruhkan bukan sekadar logistik, melainkan kepercayaan publik terhadap negara itu sendiri. (Fit)






